Zoom Merajalela>
                     </div>
                     <div class=

Zoom Merajalela

Era pandemi ini ditandai oleh merajalelanya penggunaan dan para pengguna Zoom. Rapat-rapat kantor dan proses belajar-mengajar banyak dilakukan dengan platform populer ini. Anda pasti pernah menggunakan atau, minimal, mendengar frasa “Zoom meeting.”

Padahal, beberapa bulan sebelum pandemi, Zoom hanyalah startup aplikasi videoconferencing biasa yang sesekali digunakan oleh para manajer HR untuk mewawancarai kandidat pelamar dan beberapa fungsi rapat jarak jaruh yang tipikal. Di kala lockdown alias PSBB, aplikasi Zoom sangat membantu aktivitas-aktivitas WFH (work from home) dan SFH (schooling from home).

Pengguna hariannya melonjak 20 kali lipat dari 10 juta di bulan Desember 2019 hingga lebih dari 200 juta di April 2020. Harga sahamnya pun telah meroket tajam dari USD 60an di akhir tahun lalu hingga mencapai USD 275 di bulan Juli 2020.

Zoom didirikan di tahun 2011 oleh Eric Yuan, insinyur veteran dalam teknologi videoconferencing. Ia dilahirkan di Shandong, China pada tahun 1970. Pada akhir 1990an, ia hijrah ke Silicon Valley di California setelah mengalami penolakan aplikasi visa sebanyak delapan kali.

Di sana, ia bekerja di Webex, salah satu perusahaan pelopor teknologi videoconferencing. Pada tahun 2007, Webex diakuisisi oleh Cisco.

Yuan paham betul akan visi dan tren smartphone beserta aplikasi-aplikasi video conferencing yang kompatibel dengan gadget mobile seperti smartphone dan tablet. Namun Cisco tidak begitu tertarik dengan ide ini, sehingga ia pun mengundurkan diri.

Jadilah Yuan dan mantan kolega-koleganya di Cisco/Webex mendirikan Zoom. Di bulan April 2019, Zoom (ticker: ZM) go public di Nasdaq AS. Pada hari pertama trading, harga sahamnya berhasil naik 72 persen dengan valuasi USD 16 miliar.

Saat ini, konsumen dapat menggunakan aplikasi Zoom ini secara gratis untuk maksimal 100 peserta online meeting. Yang berbayar mencakup 1,000 peserta. Bayaran per bulan juga bertingkat tanpa memberatkan budget.

Di era pandemi, jumlah pengguna Zoom yang 20 kali lipat dibandingkan dengan di masa-masa normal ternyata membuka beberapa isyu keamanan dan privasi. Salah satu masalahnya adalah konten video chat yang di-share kepada perusahaan-perusahaan ad-tracking.

Fitur video recording dan video transcribing berjalan secara otomatis. Namun end-to-end encryption Zoom juga ternyata tidak berjalan sempurna, sehingga rawan penyadapan.

Fitur attendee attention tracking tool memberi alert kepada organizer meeting mengenai perilaku peserta yang membuka browser lain ketika meeting berlangsung. Ini membuat privasi pengguna agak terusik. Internet trolls juga dikenal mentarget Zoom calls, kelas-kelas daring, dan ibadat-ibadat gereja dengan cara melakukan “zoombombering.”

Didirikan oleh para insinyur teknologi asal negara China ternyata memperkeruh suasana selama era pandemi ini, mengingat Trump mempermasalahkan “virus asal China.” Sering kali, meeting-meeting daring juga ditransmisikan ke server yang berlokasi di China.

Masalah keamanan data pengguna menjadi isyu penting, mengingat espionase yang bisa saja dilancarkan oleh pihak-pihak tertentu. Jadilah Pemerintah AS, Google, SpaceX dan perusahaan-perusahan AS lainnya menghentikan penggunaan Zoom. Pemerintah India juga dikenal sebagai anti Zoom.

Sekolah-sekolah di Singapura dan NYC telah melarang penggunaan Zoom dalam kegiatan belajar dan hiring pegawai. Mengingat berbagai komplain dan larangan penggunaan di berbagai negara, Zoom akhirnya meningkatkan fitur-fitur privasi dan keamanan.

Ini diawali dengan menghapuskan attendee attention tracking tool. Selain itu, mereka juga memberi akses bagi pengguna berbayar untuk memilih data meeting ditransfer ke negara mana saja tempat lokasi server mereka. Para pengguna kini juga dapat melaporkan kejadian-kejadian Zoombomber oleh hacker ke customer service.

Apakah Zoom masih akan terus digunakan oleh 200+ juta konsumen pasca pandemi? Mari kita amati popularitas Zoom di masa depan.