Tiga terminologi ; Growth, Adaptive Growth dan Degrowth
Dari tiga terminologi yang berhubungan dengan pertumbuhan (growth), mungkin hanya “growth” ini yang cukup populer. Ini disebut-sebut dalam setiap meeting dan menjadi basis dari hampir setiap keputusan bisnis.
Karena, pada akhirnya, semua tindakan bisnis akan bermuara kepada “angka tingkat pertumbuhan” alias growth rate. Dari konteks UKM hingga konteks negara, dapat kita amati betapa setiap hari profit dan growth mendominasi pola pikir. Sayangnya, kapitalisme adalah zero-sum game.
Apa itu “zero sum game”? Representasi matematis di mana suatu keuntungan dimenangkan oleh satu pihak merupakan kekalahan dari pihak lain yang berseberangan. Total keuntungan dikurangi total kekurangan hanya mendapatkan satu angka: nol.
Jadi, secara matematis dalam skala hitung-hitungan makro, super mendetil dan komprehensif, pada hakekatnya, secara filosofis dan fundamental, growth yang positif sebenarnya zero growth. Alias pertumbuhan nol.
Alam sedang membangunkan kita dari mimpi kapitalisme tanpa batas. Di era pandemi Covid-19 ini, growth positif alias pertumbuhan yang menukik ke atas bisa hampir dipastikan mustahil, kecuali untuk industri-industri tertentu, misalnya industri farmasi dan industri-industri lainnya yang berhubungan erat dengan pembasmian pandemi dan kelangsungan hidup mendasar. Terlepas dari pernyataan di paragraf sebelum ini.
Lantas, apakah saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mencari alternatif dari “growth”?
Dua pilihan yang ditawarkan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu adalah adaptive growth dan degrowth. Seperti apa dua pilihan ini? Bagaimana dampaknya bagi para pebisnis dan pelaku ekonomi?
Pertama-tama, mari kita analisa versi kapitalisme yang kita kenal saat ini, terlepas dari kategorisasinya (oligaristik, dikuasai pemerintah, dikuasai firma-firma raksasa, dan entrepreneurial yang dikuasai SME). Dan terlepas dari mazhab-mazhab yang telah lama mendominasi para ekonom pendukungnya.
Apa saja pro dan kon kapitalisme sebagai sistem yang telah lama membuktikan dirinya? Pro-nya jelas telah kita nikmati selama berabad-abad, yaitu pembangunan peradaban manusia yang menakjubkan. Setiap ciptaan dan produk, baik kasat mata maupun tidak kasat mata merupakan efek positif dari kapitalisme ini.
Kon-nya, kapitalisme banyak mengkonsumsi sumber daya, baik alam, manusia, buatan, berkesinambungan, dan lainnya. Dengan kata lain, kapitalisme menyedot sumber daya. Di sinilah zero-sum game menjadi suatu momok besar yang siap menelan setiap pertumbuhan.
Syukurnya, sumber tenaga listrik terbarukan seperti tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga ombak membawa sedikit angin segar, sehingga dampak negatif kapitalisme dapat sedikit dikurangi. Namun, tanpa mengerem pola hidup konsumtif dan keserakahan sistemik, angka kenihilan dari hasil “zero-sum game” ini semakin membesar.
Yang kita harapkan adalah bagaimana meminimalisir kerusakan sumber daya dalam berbagai bentuknya dengan suatu tatanan kapitalisme baru. Mungkin ini kedengarannya agak bombastis. Namun, cobalah pikirkan dengan rendah hati. Jika bukan kita yang melakukan perubahan dari lingkup kecil dalam jangkauan kita, siapa lagi?
Adaptive growth dalam konteks mikro pelaku bisnis dapat kita terjemahkan secara bebas sebagai kemampuan menavigasi kondisi-kondisi tidak terduga dan kondisi-kondisi sumber daya yang tersedia dengan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung ekuilibrium secara makro. Dalam konteks pebisnis, circular economy yang dikenal sebagai “ekonomi donat” dapat diaplikasikan dari hulu ke hilir.
Gunakan “sampah” sebagai bahan baku produk-produk lain yang juga dapat didaur ulang kembali. Jadi tidak ada sampah yang disebabkan oleh produk tersebut.
Selain adaptive growth, degrowth merupakan pilihan lainnya. Dengan kata lain, pertumbuhannya minus. Apakah ini artinya merugi? Tidak.
Yang ditekan adalah growth alias pertumbuhannya. Jika sebelumnya dipatok pertumbuhan 20 persen growth, misalnya, maka “degrowth” berarti pertumbuhan per tahun lambat laun menurun hingga nol atau bahkan minus.
Namun ini bukan berarti tidak lagi mendapatkan profit. Profit tentu masih terus diperoleh, sepanjang masih ada produk yang diperjualbelikan. Produsen dan pebisnis hanya harus merelakan revenue tidak lagi meroket grafiknya, namun menurun.
Konsep Degrowth sendiri dipopulerkan oleh Francoise Schneider. Inti dasarnya adalah manusia idealnya hidup berdampingan secara baik dengan manusia dan makhluk-makhluk non-manusia lainnya. Manusia adalah pelindung (steward) dan perawat (caretaker) alam, termasuk segala bentuk sumber daya yang mengelilinginya.
Mari kita mulai berhati-hati dalam menciptakan, memasarkan, dan mendistribusikan produk. Growth penjualan bukanlah satu-satunya prestasi yang dapat dikuantifikasikan. Bagaimana kita mampu mempertahankan sumber daya merupakan prestasi yang lebih tinggi daripada sekedar mencari keuntungan