
Strategi sederhana Supreme
Siapa yang tidak kenal Supreme? Apabila Anda atau anggota keluarga Anda ada yang anggota Generasi Z atau Milenial, pastilah merek Supreme merupakan dambaan. Logo streetwear fashion ini berlatar belakang warna merah darah dengan font italik kontemporer bertuliskan kata “Supreme.”
Partnership Supreme dengan merek-merek luar biasa seperti Louis Vuitton, North Face, Champion, dan Nike serta para seleb dan fashion designer papan atas memungkinkan merek ini berkembang secara fantastis dan eksponensial. Hingga hari ini, Supreme hanya mempunyai 12 gerai di seluruh dunia, dengan 6 di Jepang.
Salah satu indikator kehebatan Supreme adalah harga resale-nya di eBay yang bisa mencapai lebih dari 1.200 persen dari harga sebenarnya. Dan para Supreme flippers sukses berpenghasilan lebih dari USD 1 juta per tahun.
Bagaimana perjalanannya?
Founder Supreme bernama James Jebbia yang merupakan warga negara AS ini dilahirkan pada tahun 1963 dan dibesarkan di Inggris Raya oleh ayah anggota militer AS dan ibu seorang guru. Ia juga pernah bekerja sebagai aktor cilik televisi.
Di masa remajanya, ia bekerja di pabrik baterai Duracell. Pada usia 19 pindah dari London ke New York dan bekerja di gerai fesyen minimalis dan futuristik bermerek Parachute yang dikenal sebagai favorit para selebriti di masanya, seperti Madonna, Michael Jackson, Mike Jagger, Jodie Foster, Bruce Willis, dan David Bowie.
Di saat yang sama, James memulai bisnis ranselnya yang ternyata laris manis walaupun hanya dijual di flea market, alias “pasar kaget” musiman. Jadilah ia merekrut manajernya Eddie Cruz di Parachute sebagai salah satu anggota timnya.
Dengan bisnis di NY yang dijalankan timnya, ia memperluas bisnis di kota tempat ia dibesarkan yaitu London. Di daerah pertokoan unik The Duffer of St. George inilah, ia menemukan ceruk untuk fesyen anak muda yang jarang ditemukan di tempat lain.
Di tahun 1989, ia membuka toko bernama Union di lokasi ini dan mempopulerkan merek-merek Pantai Barat AS seperti Stussy di London. Satu tahun kemudian, James bertemu dengan pendiri Stussy yaitu Shawn Stussy dan bekerja sama dalam membuka gerai di Prince Street, New York pada tahun 1991.
Ekspansi ke NYC ini ternyata meroketkan revenue Stussy hingga mencapai USD 45 juta di tahun pertama. Uniknya, Shawn menjual Stussy pada tahun 1984. Jadilah James Jebbia kini tanpa pekerjaan.
Ternyata, kondisi ini melahirkan Supreme, streetwear termahal dan paling ternama saat ini. Unique value propositionnya benar-benar unik, yaitu fesyen jalanan spesifik untuk para pemain skateboard jalanan yang juga digemari mereka yang bukan skateboarders.
Logo Supreme yang menggunakan font italik contemporer bold sendiri terinspirasi oleh karya-karya seni Barbara Kruger. Dan produk pertamanya adalah kaos oblong putih polos dengan logo merah Supreme di bagian dada.
Pada tahun 1993, James menyewa lokasi di Lafaye Street, New York City dekat dengan gerai Stussy. Mulailah ia mempekerjakan para skaters dan akhirnya menyedot perhatian para seleb seperti Justin Beiber dan Kanye West.
Desain gerainya terbuka, terang, dan minimalis sehingga terkesan cukup mewah. Tempat ini pun jadi lokasi nongkrong terhits.
Melalui komunitas organik ini, James mengenali gaya para skaters yang menggabungkan merek-merek sporty seperti Carhartt dan Champion dengan merek-merek luks Gucci dan Louis Vuitton. Merek-merek Pantai Barat tidak dilirik para skaters di Pantai Timur, karena produknya terlalu tipis dan berkualitas rendah untuk dipakai di New York yang dingin dan bersalju.
Mulailah James berpartner dengan manufaktur fesyen Brents yang menggunakan materi dasar dari pakaian bekas militer. Kala itu, Brents telah memanufaktur untuk merek-merek streetwear besar lainnya seperti Modern Amusement, Phat Farm, dan Milkcrate.
Dua produk Supreme pertama yang dimanufaktur mereka adalah hoodie (USD 90) dan sweatshirt (USD 75). Jadilah kualitas tinggi Supreme dilirik para seleb seperti Eric Claption dan The Beastie Boys. Dan James semakin bersemangat memperkenalkan gaya-gaya baru berdasarkan style jalanan di NY, London, dan Tokyo.
Di Jepanglah ia terilhami untuk launching produk dalam jumlah terbatas setiap minggu. Dari gagasan sederhana ini, ternyata pembelinya sampai berebutan dan ricuh. Merek Supreme kini dinilai lebih dari USD 2,1 miliar setelah diakuisisi oleh VF Corp yang memiliki North Face dan Vans.
Pada tahun 1995, majalah fesyen Vogue menyetarakan Supreme dengan merek ternama Chanel. Bahkan, majalah itu juga menyebutkan bahwa Chanel-lah yang akan banyak dipengaruhi oleh Supreme. Bukan sebaliknya.
Supreme memang super. Strategi sederhana yang berhasil menggoyang dunia fesyen.