Sovereign Wealth Fund Indonesia>
                     </div>
                     <div class=

Sovereign Wealth Fund Indonesia

Indonesia segera akan punya semacam Temasek yaitu berbentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) yang merupakan kumpulan dana investasi yang dikelola oleh lembaga negara. Lembaga ini diberi nama Indonesia Investment Authority (INA) yang telah dilegalkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi (LPI).

SWF secara garis besar dapat berinvestasi di sektor riil maupun sektor finansial, bahkan termasuk private equity dan hedge fund. Dan salah satu tujuan pendirian SWF, termasuk LPI INA adalah stabilisasi ekonomi negara dan pemerataan pembangunan infrastruktur negara. Modal awal yang telah ditetapkan adalah USD 5 miliar atau sekitar IDR 75 triliun yang akan dipenuhi selama 2021.

Saat ini, angka ini telah meningkat lebih dari dua kali lipatnya dengan kucuran dana tambahan dari SWF-SWF luar negerti, seperti ADIA (Abu Dhabi Investment Authority). Dan diharapkan akan segera mencapai USD 20 miliar.

Dengan adanya LPI INA ini, diharapkan Indonesia tidak lagi perlu mengkhawatirkan sumber dana pembangunan negara yang selama ini banyak bersumber dari dana-dana pinjaman luar negeri. Dengan semakin stabilnya kondisi makro, maka diharapkan semakin banyak pula investasi asing yang berani masuk.

Efek makronya, (GDP) PDB Indonesia juga dapat terdongkrak naik, mengingat komponen I (investasi) sama pentingnya dengan komponen C (konsumsi) dan G (pengeluaran pemerintah). Dua yang terakhir ini sudah mendominasi Indonesia sejak dulu.

SWF Indonesia ini sedikit berbeda dengan SWF-SWF umumnya, termasuk lima besar ini: Norway Government Pension Fund Global (USD 1,2 triliun), China Investment Corporation (USD 1,04 trilyun), Abu Dhabi Investment Authority (USD 580 miliar), Hong Kong Monetary Authority Investment Portfolio (USD 576 miliar) dan Kuwait Investment Authority (USD 534 miliar). LPI INA terfokus pada influx dana-dana investasi (capital inflow) dan partisipasi JBIC (Japan Bank for International Cooperation), bukan berasal dari dana surplus.

Sebagai contoh, ketersediaan dana pensiun seperti Norwegia, penjualan komoditas seperti di Brunei, dan surplus ekspor seperti Korsel, misalnya. Fakta bahwa LPI INA tidak menggunakan surplus dana namun recycling aset di mana aset-aset ditransfer serta mendapat bantuan dari JBIC, merupakan resiko tersendiri.

Bernaung di bawah Menkeu dan Menteri BUMN, serta diaudit oleh auditor independen (seperti PwC, E&Y), maka SWF LPI INA diharapkan cukup independen dan kredibel. Tentu saja sepanjang rambu-rambu, transparansi, dan sistem check and balance-nya sanggup menutup pintu-pintu penyalahgunaan dana dan proses pencucian uang. Kekuasaan terpusat yang berlebihan selalu mengundang resiko, sehingga ini perlu pengawasan lebih intens dari publik.

Selanjutnya, apa efek dari SWF Indonesia pertama ini bagi para pemain bisnis di Indonesia terutama UKM, selain bagi pasar modal nasional?

Pasar modal akan menikmati pengaruh positif mengingat SWF mampu meningkatkan kapitalisasi pasar. Diharapkan, semua sektor akan merasakan akibatnya, tidak hanya tertentu.
Dengan adanya capital inflow sangat besar (optimal USD 20 miliar), tentu dana semestinya dapat disalurkan kepada para pemain di berbagai sektor.

Bagi Indonesia, termasuk UKM-UKM, tentu dengan semakin tingginya perputaran uang di pasar riil dan investasi, berbagai jasa dan produk komplementer dapat ditawarkan. Apalagi mengingat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang mendampingi kebutuhan hukum pro investasi dan bisnis dengan perubahan ekosistem yang semakin positif.[]