
Menyelamatkan Bisnis Musik dan Royalti Era Streaming dari dampak Pandemi Covid
Cara menikmati musik terkini bukan lagi dengan memutar CD atau mengunduh file lagu dari iTunes, namun dengan menikmatinya secara streaming via Spotify, Tidal, YouTube Music, Apple Music, Amazon Music, and Pandora. Bagi penikmat musik, ini merupakan kemajuan teknologi yang membawa convenience karena tidak perlu lagi menyimpan sejumlah CD atau memakan banyak memori di dalam hard drive.
Streaming music merupakan bentuk distribusi musik dan lagu yang revolusioner. Bagaimana tidak, dengan menjadi anggota saja, Anda dapat mengunduh sepuasnya kapan saja dan di mana saja.
Namun ada satu hal yang berbeda: status kepemilikan file musik atau lagu yang dimaksud. Dan ini sangat mempengaruhi sumber penghasilan pemilik copyright lagu atau musisinya.
Di masa lalu, begitu Anda membeli CD lagu, Anda memiliki dan dapat menikmatinya sepanjang CD tersebut masih baik fungsinya. Anda hanya mengeluarkan uang satu kali dari dompet Anda. Layanan streaming memungkinkan Anda terus-menerus menikmati jutaan lagu tanpa perlu memilikinya.
Bagi musisi yang memainkan atau menyanyikan lagu-lagu tersebut, setiap CD atau file MP4 yang diunduh, maka mereka mendapatkan satu unit royalti. Untuk penjualan CD, misalnya, musisi pemilik copyright mendapat US 1 hingga USD 1,50 per unit.
Bisa dibayangkan apabila satu judul CD terjual 1 juta kopi. Musisi dipastikan akan mendapatkan royalti sebesar USD 1 juta hingga USD 1,5 juta minimal. Biasanya, mereka juga mendapatkan bonus sebagai best-selling artist dari produser yang harganya tidak sedikit.
Nah, bagaimana dengan royalti musik di era streaming?
Dengan 1 juta streaming, musisi mungkin hanya menerima USD 3.500 saja. Tampak ketidakadilan di sini, mengingat streaming music juga sangat berpotensi untuk menjadi viral dan mengglobal dalam sekejap.
Sebagai musisi, tentu memiliki perjanjian yang ketat tentang penerimaan royalti dengan pemilik rumah musik (music house) atau produser akan sangat membantu di masa depan. Ini mengingat format pendistribusian musik masih terus berevolusi, alias berubah mengikuti perkembangan zaman.
Jadi, jangan sekali-kali membatasi format distribusi lagu dengan bentuk-bentuk tertentu. Pastikan klausul perjanjian mencakup juga bentuk-bentuk di masa depan yang masih belum bisa dibayangkan sekarang.
Di era pandemi ini, konser-konser tatap muka yang menjadi sumber penghasilan besar bagi para musisi, sedang mengalami hiatus hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Padahal, para musisi A-list bisa memperoleh jutaan USD dalam setiap tur konser keliling dunia.
Nah, bagaimana para musisi dapat bertahan hidup, mengingat mereka pun butuh uang.
Hak cipta merupakan salah satu bentuk aset yang dapat diperjualbelikan. Investor-investor yang mengincar royalti dapat mengakuisisi aset tersebut dari musisi pemegang hak cipta dengan nilai masa depan yang dikuantifikasikan.
Salah satu startup yang bergerak dalam bidang ini adalah Hipgnosis. Mereka mengakuisisi katalog-katalog musik yaitu hak cipta akan lagu-lagu ternama dengan dana kapital pooling besar. Selain itu, Lyric Financial membayar cash kepada para musisi di muka sebelum mereka mendapatkan royalti yang telah terkumpul.
Hak cipta kepemilikan masih dipegang oleh musisi itu sendiri atau tergantung perjanjian dengan investor.
Bagaimana pelaksanaan perlindungan hak cipta musisi dengan pengelolaan royalti di Indonesia?
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik menjamin perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak ekonomi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait atas lagu dan musik. PP ini merupakan amandemen UU nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Di dalam Pasal 3 diatur bahwa mereka pengguna lagu atau musik secara komersil dalam bentuk layanan publik diwajibkan membayar royalti oleh kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak. Untuk ini, Pemerintah telah menunjuk LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) untuk mengatur, menerima pembayaran pengguna komersial, dan mendistribusikan royalti kepada musisi.
Pertanyaannya, bagaimana dengan tempat-tempat umum yang memutar lagu-lagu dari layanan streaming seperti Spotify, Resso, dan JOOX mengingat musisi sudah mendapat royalti dari mereka?
Nah, pengguna lagu yang merupakan pemilik tempat publik tetap harus membayar royalti mengingat nilai komersial pengguna. Berlangganan secara streaming hanya ditujukan pada penggunaan pribadi.
Krisis ekonomi akibat pandemi masih belum selesai, namun dapat kita pastikan bahwa dunia bisnis berbasis hak cipta semakin dewasa. Mari hormati hak cipta, membayar royalti, dan bersama-sama menyelamatkan peradaban dari dampak pandemi Covid