Manusia Bersaing dengan AI secara Humanis>
                     </div>
                     <div class=

Manusia Bersaing dengan AI secara Humanis

Di era serba kecerdasan artifisial alias AI (artificial intelligence) ini, manusia semakin merasakan ketersingkiran. Apalagi semasa pandemi ini, semakin sedikit penggunaan SDM, maka akan semakin “baik” karena mengurangi kemungkinan penularan Covid-19.

AI sendiri telah bermetamorfosis dari kegunaan berbasis pengalaman hingga kepada otomatisasi berdasarkan data. Jadi, algoritma AI telah menjadi bagian peradaban manusia tanpa dapat kita pungkiri pagi.

Rekomendasi-rekomendasi AI bisa jadi semakin dihargai dan langsung diaplikasi tanpa banyak dipertimbangkan lagi secara manusiawi. Dengan kata lain, “manusia versus mesin” yang dulu hanya dikenal di film-film fiksi sains, kini telah menjadi realita terkini.

Dalam dunia bisnis, para eksekutifp perusahaan, dan para pakar Ilmu Manajemen, bagaimana sikapnya terhadap AI yang ultra kompetitif ini? Ketika keputusan-keputusan penting tidak lagi diambil oleh manusia, tentu kita perlu mempunyai persiapan mental.

Logikanya, mampukah AI alias “mesin” menggantikan manusia secara total? Bisa jadi. Namun kita perlu tetap memiliki kepercayaan diri alias meyakini bahwa AI adalah ciptaan manusia, sehingga manusialah yang seharusnya menguasainya.

Apa saja kuncinya? Adaptasi dan fleksibilitas dalam menganalisa, mengeksekusi, dan mendesain berbagai aplikasi dan algoritma versi-versi selanjutnya. Untuk ini, idealnya, setiap eksekutif pengambil keputusan mempunyai skill memadai dalam data analitiks dan data analisis.

Berikut ini beberapa hal yang perlu dikuasai oleh pengambil keputusan dengan AI.

Satu, menguasai analitiks secara komprehensif. Untuk ini, kerja sama dengan para pakar data, seperti statistician dan aktuaris bisa sangat berharga bagi keputusan akhir.

Dua, menguasai strategi berdasarkan best practices dan use cases terdahulu. Ini memungkinkan tidak lagi perlu mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu.

Tiga, kuantifikasi analitiks yang diaplikasikan dengan bottom line unit bisnis. Jadi, suatu metriks dapat dinilai secara kuantitatif.

Empat, kualifikasi secara nilai-nilai kemanusiaan. Memang bisnis sangatlah mengandalkan perhitungan kuantifikasi dalam menghitung profit. Namun bagaimana impak yang diterima bagi setiap manusia, baik konsumen maupun stakeholder lainnya, merupakan kunci kualitas yang tidak dapat dikuantifikasikan.

Lima, pastikan implikasi-implikasi sosial mempunyai nilai tambah di masa depan. Bisa saja ini dikuantifikasikan maupun tidak. Nilai tambah juga bisa saja berbentuk berbagai pintu dan kemungkinan yang terbuka, tidak hanya yang pasti membawa keuntungan secara finansial.

Enam, pastikan insentif-insentif berbentuk kuantitatif finansial dan kualitatif secara moral maupun motivasi dan inspirasi. Uang memang penting, namun kesempatan dan positivitas jauh lebih penting. Dan ini hanya dapat dirasakan dengan insentif-insentif yang diterima dan bermakna secara manusiawi.

Siapa bilang pandemi merupakan keburukan total? Tragedi apapun merupakan kesempatan bagi kita untuk menyumbangkan positivitas alias kebaikan. Dan sebagai manusia, bahkan bisnis dan korporasi pun mempunyai kesempatan untuk membuktikan kemanusiaannya.

Tentu saja, pada akhirnya, setiap bisnis sangat membutuhkan konsumen, yang idealnya dalam kondisi sehat. Pandemi dan AI memberi kesempatan bagi para eksekutif bisnis untuk berpikir melampaui untung-rugi belaka.

Ada banyak unsur kemanusiaan dalam hidup dan bisnis. Bahkan keseluruhan ekosistem ekonomi mustahil berjalan tanpa manusia.

Ekonomi, bisnis dan kemanusiaan seyogyanya dipandang sebagai setali tiga uang. Ketiganya tidak dapat berdiri sendiri. Ketika ekonomi sirkular yang regeneratif dan terbarukan berjalan sebagai arus tengah, diharapkan kemanusiaan bertumbuh dalam peradaban yang lebih baik dan langgeng sepanjang zaman.

Akhir kata, bagaimana kita menguasai AI dengan keputusan-keputusan yang tidak hanya mengandalkan data keras merupakan kunci keberlangsungan peradaban manusia. Manusia tetaplah menjadi tuan teknologi.

Manusia perlu lebih asertif dan semakin sadar akan kemanusiaannya agar dampak-dampak negatif teknologi dapat dinetralisir atau dibalikkan menjadi efek-efek positif. Jadilah manusia yang tidak bertingkah dan berpikir seperti robot, karena kita tidak mau robot menjadi tuan manusia.

Selamat menguasai teknologi, sepanjang teknologi tidak menguasai manusia.