Krisis dan Skandal Boeing 737>
                     </div>
                     <div class=

Krisis dan Skandal Boeing 737

The Boeing Company didirikan pada tahun 1916 oleh William Boeing. Pada awalnya, nama yang dipakai adalah Aero Products Company yang memproduksi seaplane dengan satu mesin untuk armada U.S. Navy dalam Perang Dunia Pertama.

Di tahun 1958, penerbangan komersial dengan penumpang manusia diluncurkan oleh maskapai Pan American (PanAm) dengan rute transatlantik. Pesawat yang digunakan adalah Boeing 707 yang ternyata hits dengan publik.

Lebih dari 100 tahun, Boeing telah berhasil mengukir prestasi dipercaya sebagai perusahaan manufaktur pesawat udara penumpang berukuran besar. Sampai artikel ini ditulis, Boeing dan kompetitornya Airbus menguasai 99 persen pasar pesawat besar global.

Airbus sendiri dimulai pada tahun 1967 atas kerja sama antara Jerman, Perancis, dan Inggris yang saling bersetuju bahwa sinergi di bidang aviasi akan meningkatkan interes teknologi dan pertumbuhan ekonomi di Eropa. Jadilah Airbus A300B ditargetkan sebagai pesawat jarak pendek dan menengah. Oktober 1972 ditandai dengan penerbangan pertamanya.

Pada tahun 2018, pangsa pasar terbagi 50-50 antara Boeing dan Airbus. Pada tahun yang sama, Boeing mendeliver 806 pesawat dan Airbust 800. Saham keduanya outperform S&P 500 dalam 10 tahun terakhir.

Dibalik nama besar Boeing, kepercayaan akan keamanan dan keselamatan penumpang telah terkikis sejak dua tahun lalu. Ada krisis apa sebenarnya di Boeing?

Ini diawali dengan Lion Air yang berangkat dari Soekarno-Hatta Jakarta ke Pangkal Pinang jatuh di Laut Jawa pada tanggal 29 Oktober 2018. Ethiopian Airlines yang take off pada tanggal 10 Maret 2019 juga jatuh tidak lama kemudian. Total korban jiwa 346 dalam selang waktu 5 bulan.

Kedua kecelakaan tersebut menggunakan pesawat Boeing 737 MAX yang masih tergolong baru. Jadilah FAA (Federal Aviation Administration) melakukan grounding terhadap 500 pesawat MAX 3 hari setelah kecelakaan kedua. Kini sekitar 800 Boeing 737 MAX milik berbagai maskapai dunia diparkir di hanggar bandara sebelum diizinkan terbang kembali dengan revisi.

Benang merah kedua kecelakaan udara tersebut adalah kegagalan sistem MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) pada pesawat. Bahkan para pilot yang telah terbiasa membawa Boeing 737 versi lama tidak menyadari beberapa fitur baru yang memang tidak pernah disebut-sebut.

Selain itu, terdapat beberapa unsur lain.

Pertama, pergeseran kultur perusahaan yang dulunya mengutamakan keamanan penumpang ke mencetak profit sebesar-besarnya demi memuaskan Wall Street yang mendewakan dividend per share. Harga saham yang meningkat terus dalam 10 tahun terakhir merupakan pemicu semangat keserakahan yang tidak menempatkan keselamatan dan keamanan penumpang di tempat teratas.

Ini disimbolkan dengan perpindahan kantor pusat dari Seattle ke Chicago. Di Seattle, kantor pusat bergabung dengan pabrik manufaktur, sedangkan di Chicago hanyalah sebuah kantor administrasi manajemen.

Kedua, menekan pengeluaran (cost) produksi.
Outsourcing komponen ke Asia telah menyebabkan Boeing 787 Dreamliner terlambat diluncurkan hampir empat tahun dari 2007 hingga 2011. Penekanan biaya materi dan biaya produksi secara keseluruhan telah menjadi normalitas baru di kultur Boeing yang pada awal pendiriannya berfokus kepada keamanan penumpang.

Dalam produksi Boeing 737 MAX, outsource partikel menekan biaya produksi secara signifikan, sehingga dividen para pemegang saham dapat naik secara signifikan pula. Wall Street wins, main street loses.

Ketiga, mengiming-imingi pembeli (perusahaan airline) dengan tidak perlunya tambahan training bagi pilot. Boeing memasarkan 737 MAX dengan janji bahwa pilot tidak perlu dilatih kembali dengan simulasi pesawat.

Biaya pelatihan di simulator dapat memakan ribuan USD per pilot dan masa tunggu penggunaan simulator yang bisa mencapai beberapa bulan. Bagi maskapai penerbangan, efisiensi cost seperti ini sangat menarik. Padahal resiko kecelakaan menjadi semakin besar.

Keempat, duopoli dengan Airbus bisa jadi dimenangkan oleh Boeing dengan monopoli. Strateginya adalah dengan menguasai pasar China yang luar biasa besar dengan penduduk mendekati 2 miliar jiwa.

Bombardier (Kanada) dan Embraer (Brazil) adalah dua perusahaan manufaktur pesawat udara ukuran kecil-sedang untuk penerbangan regional. Bombardier telah diakuisisi oleh Airbus dan 80 persen saham Embraer telah diakuisisi oleh Boeing sebesar USD 4,2 miliar.

Bersama Airbus, Boeing tampaknya akan terus menguasai pangsa pasar pesawat dunia, namun kemampuan mereka dalam memastikan keamanan penumpang merupakan kunci kepercayaan publik.