Kondisi 2020, Resesi dan Politik
Seperti apa kondisi ekonomi makro 2020? Resesi global? Bagaimana dengan kondisi politik?
Tentu tidak ada manusia yang mampu memprediksikan seperti apa masa depan. Namun dengan bantuan data dan berbagai teori dan metode analisis, minimal kita dapat mempunyai gambaran kasar akan berbagai skenario a.k.a. kemungkinan yang akan terjadi di tahun 2020.
Berdasarkan data dari berbagai institusi dan pakar ekonomi dunia termasuk mereka yang bekerja sebagai akademisi, pakar ekonomi praktis, dan analis finansial, berikut ini kondisi yang bisa saja terjadi di tahun 2020.
Satu, menurut IMF (International Monetary Fund), pertumbuhan ekonomi terendah sejak 2008 yaitu 3 persen di tahun 2020. Menurut Goldman Sachs, pertumbuhan tahun depan lebih tinggi yaitu 3.4 persen.
Amerika Serikat termasuk dalam negara-negara yang akan sangat terpengaruh. Indonesia akan terpengaruh juga, namun tidak seberat AS.
Dua, kondisi finansial global pada umumnya akan membaik mengingat tensi US-China Trade War dan Brexit akan memudar.
Kondisi US-China Trade War dan Brexit yang semakin jelas memberi peluang pertumbuhan yang lumayan.
Jadi, GDP AS diharapkan bisa mencapai 2.3 persen. Pertumbuhan Eropa diekspektasi mencapai 1.1 persen. Pertumbuhan China 5.8 persen.
Menurut Asian Development Bank (ADB), tahun depan, GDP Indonesia diharapkan mencapai 5.2 persen, inflasi 3.3 persen dan GDP per kapita mencapai 4.1 persen.
Tiga, kepercayaan konsumen tinggi, namun kemungkinan resesi selalu ada. Para bank sentral sendiri telah “bersiap-siap” akan timbulnya resesi global dengan “on hold” cadangan moneter mereka.
Tren kebijakan pemerintahan global pada umumnya akan berfokus pada pertumbuhan kualitas dan penjagaan kualitas pertumbuhan GDP. Namun terlepas dari tren ini, pertumbuhan GDP Jepang mungkin masih kurang dari setengah persen.
Empat, pertumbuhan GDP emerging markets (termasuk Indonesia) secara rata-rata akan mencapai 4.8 persen, sedangkan developed markets (negara-negara maju) hanya 1.7 persen. GDP AS sendiri diperkirakan akan mencapai titik terendah di Q1 2020 mengingat berbagai tensi politik dan kondisi keuangan rumah tangga.
Bisa saja kita tetap optimis mengingat kemampuan bank sentral AS Federal Reserve yang biasanya berhasil menyelamatkan kondisi ekonomi makro AS dengan interest rate cut dan quantitative easing. Namun, tidak demikian menurut ekonom terkemuka Nouriel Roubini yang memprediksikan keterbatasan kebijakan dalam kondisi krisis berikut yaitu di Q1 atau Q2 2020.
Lima, kesenjangan kekayaan global (wealth inequality) semakin besar terlepas dari semakin rendahnya angka pengangguran (unemployment rate). Mekanisme financial engineering yang selama ini menjadi motor utama roda ekonomi tetap menjalankan fungsi-fungsinya di tahun 2020 yang lebih menguntungkan kaum industrialis kapitalis dan mereka yang mampu mengarungi ombak.
Gelembung hutang (debt bubble) yang merupakan efek dari inequality tersebut mempunyai resiko pecah sehingga menciptakan krisis baru. Dan resiko semakin menggelumbung dan siap terjun bebas.
Enam, politik populisme global semakin popular, namun tanpa kebijakan yang mereduksi hutang-hutang privat, resiko gelembung pecah semakin besar. Idealnya, demoktratisasi kepemilikan saham dan penurunan hutang rumah tangga seperti credit card debts dan student loans akan menjadi faktor penting.
Apa itu “demokratisasi saham”? Kepemilikan saham global saat ini didominasi oleh mereka yang termasuk dalam golongan ekonomi berlebih (kaya). Sebenarnya, kebijakan politik bisa saja mengharuskan kepemilikan saham oleh para pegawai dan mereka yang bukan pemilik dari awalnya.
Di AS, kepemilikan saham dalam sistem pensiun privat 401(K) belum merupakan demokratisasi yang memadai, karena akun ini hanya dipegang oleh segelintir orang yang mempunyai akses (kebanyakan berkerah putih). Menurut ekonom Steve Keen, AS sendiri masih berbentuk kapitalis oligarki, belum kapitalis demokrasi. Indonesia apalagi.
Selamat tahun baru 2020. Semoga pertumbuhan ekonomi makro dan mikro Indonesia dan global semakin positif tanpa melupakan bagaimana pertumbuhan GDP dapat dicapai dengan tetap menjaga dan meningkatkan kualitas ekologi. Ingat, ekonomi tidak dapat hidup tanpa ekologi yang menunjang.
Bahasa kasarnya, kita tidak dapat mencari uang ketika planet kita tidak ada lagi atau dalam kondisi sekarat. Kita semua tergantung kepada alam dan Planet Bumi. Pertumbuhan GDP memang baik, namun lebih penting menjaga keberlangsungan bumi.