Jadilah talenta teratas 3 % di dalam populasi Gig Economy
Pandemi Covid-19 mempercepat maturitas gig economy yang berarti pemakaian para top freelancer semakin umum. Bukan hanya para household cleaner dan handyman saja yang dapat dengan mudah dipekerjakan untuk beberapa jam, hari, minggu, atau bulan saja.
Konsultan-konsultan bisnis top, termasuk para saintis data dan CEO dan CFO interim juga bisa dipekerjakan secara “ala carte” tanpa perlu di-hire secara penuh waktu lengkap dengan berbagai fasilitas. Bagi perusahaan, ini berarti fleksibiltas dalam expenses.
Bagaimana lanskap gig economy terkini yang erat hubungannya dengan marketplace?
Satu, platform marketplace bagi para freelance talents leveling the playing field. Kesetaraan antara para talenta penuh, paruh, dan fleksibel waktu kini menjadi kenyataan. Dengan manajemen waktu yang mumpuni, tidak mustahil seorang talenta dapat menikmati penghasilan yang melebihi seorang full-time employee sepanjang memungkinkan.
Dua, ide-ide inovatif dapat di-crowdsource dengan simpel. Platform berbasis komunitas online InnoCentive dan Kaggle memungkinkan perusahaan-perusahaan untuk memposting masalah yang membutuhkan solusi.
Salah satu yang paling lgendaris adalah yang diposting oleh U.S. Transportation Security Administration di Kaggle yang merupakan kompetisi untuk memperbaiki algritma yang dapat memprediksi ancaman di pelabuhan udara.
Tiga, para freelance talents dapat memilih gaya kerja yang paling sesuai. Bisa saja mereka dibutuhkan di rumah, misalnya untuk merawat orang tua yang sedang sakit atau menemani anak berkebutuhan khusus. Atau, mereka dapat bekerja dari co-working space atau bahkan tempat belajar mereka.
Fleksibilitas gig economy memungkinkan ini, yang memacu kompetisi sehat antar para talenta. Bagi yang memiliki kebutuhan tertentu, seperti mempunyai masalah kesehatan pun dapat bekerja dari lokasi yang dibutuhkan.
Tentu saja tidak semua project dapat dikerjakan secara fleksibel dan adaptif secara remote, seperti yang membutuhkan penanganan di lapangan dan manajemen tim yang ketat. Namun berbagai aplikasi kini sangat memungkin gaya kerja variatif.
Empat, kebutuhan akan freelance talents yang memahami gaya kerja hybrid semakin tinggi. Gaya kerja di era pandemi dan pascanya nanti dapat dipastikan berubah drastis, dari yang in-person menjadi remote seluruhnya maupun sebagian.
Jadilah gaya kerja hybrid sebagai suatu tren yang akan bertahan lama. Di negara-negara maju seperti AS dan Eropa Barat, misalnya, gaya kerja hybrid telah memasuki arus tengah. Diprediksikan, Indonesia akan mengikuti gaya ini, mengingat orientasi hasil lebih menjanjikan daripada orientasi kehadiran belaka.
Lima, para talents dapat mulai memasuki dunia kerja berdasarkan kualitas skill.
Ini berarti playing field semakin setara karena dalam gig economy, skill merupakan currency paling berharga. Bukan usia, bukan senioritas, bukan koneksi.
Jadi, mereka yang masih berusia belia seperti Generasi Z, maupun mungkin yang telah agak berumur seperti Generasi X atau Baby Boomer, masih dapat berkarya secara optimal tanpa perlu merasa terdiskriminasi karena orientasi hasil. Bahkan mereka yang berkebutuhan khusus, seperti mempunyai kondisi Asperger’s Syndrome atau autisme bisa saja memegang posisi penting seperti sebagai pakar Matematika, mengingat kapastias savant mereka sering kali melampaui mereka yang “normal.”
Enam, inovasi business model dan revenue model dapat di-test drive dengan talenta freelance. Ini berarti berbagai ide dan project baru dapat diujicobakan tanpa membuang banyak pengeluaran. Di masa lalu, ini hampir mustahil mengingat tim untuk pilot project perlu telah dibentuk sebelumnya.
Platform-platform komunitas para freelancer ber-skill mumpuni alias top tiga persen teratas merupakan berkat dan kutukan sekaligus. Mereka adalah “berkat” bagi yang sungguh-sungguh mempunyai kapasitas dan kualitas kerja teruji dan terbukti sangat adaptif. Namun mereka adalah “kutukan” bagi yang skill-nya biasa-biasa saja dan tidak dapat diandalkan dari segi profesionalisme dan adaptabilitas.
Akhir kata, gig economy yang kini telah “dewasa” di dunia internasional, semestinya dapat memicu Indonesia untuk semakin tertantang dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga mereka pantas menyandang sebutan “top talents.”
Jadilah talenta teratas tiga persen di dalam populasi. Karena merekalah yang dapat menguasai dunia kerja dan dunia bisnis. Salam sukses.