Iklan Purpose-Driven
Pandemi Covid-19 telah mengubah bagaimana kita menjalankan hidup dan bisnis sehari-hari. “New normal” istilahnya. Bagi dunia periklanan, ini sebenarnya membuka lembaran-lembaran baru yang memang tidak terpikirkan di masa pra-pandemi.
Penjualan ritel global diperkirakan merugi USD 2,1 trilyun sepanjang pandemi 2020. Kerugian Google dan Facebook divisi advertising mencapai USD 44 miliar. Belanja iklan di Eropa menurut 10 hingga 15 persen. Sedangkan di AS, belanja iklan menurun 17 persen.
Padahal, industri periklanan sendiri termasuk salah satu yang paling inovatif dan kreatif. Dengan dua hal ini, agensi-agensi semestinya masih dapat bertahan namun persaingan sangat ketat. Masa pandemi malah merupakan sumber inspirasi iklan-iklan purpose-driven alias “didorong oleh kebutuhan.”
Tak perlu diragukan lagi bahwa yang tiga hal terpenting di era terkini ini adalah: kesehatan, kebersihan, dan portabilitas. Kesehatan jelas bermakna bebas dari virus Covid-19. Sedangkan kebersihan sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang steril dan bebas dari kuman apapun.
Sedangkan portabilitas merupakan fleksibilitas sebagai desain dan pola pikir yang mendasari berbagai aktivitas dan keputusan. Sebagai contoh, tema-tema iklan berbagai merek mulai memasukkan kondisi pandemi. Misalnya, m-banking BCA menggunakan tema ini untuk memperkenalkan “belanja tanpa sentuh.”
Misalnya, kebutuhan konsumen akan sterilisasi memberi kesempatan bagi merek-merek untuk menggunakan tempat cuci tangan portabel dan bilik sanitizer sebagai papan billboard iklan dengan impresi besar. Berbagai bentuk sinergi antara fungsi dan tujuan kesehatan, kebersihan, dan portabilitas bisa dijadikan kerangka berpikir multiguna.
Fakta bahwa social distancing dan WFH (work from home) alias semi lockdown telah mengubah gaya berbelanja jelas tidak terhindarkan. Ini juga menurunkan belanja iklan baik yang konvensional maupun yang digital.
Menarik bukan? Belanja iklan online ternyata juga mengalami penurunan padahal penggunaan sosmed meningkat pesat di masa pandemi.
Menurut riset Smartly.io di AS, penggunaan sosmed meningkat namun interaksi dengan iklan online menurun disebabkan oleh kebutuhan berhubungan sosial yang meningkat selama masa-masa sulit. Namun konsumen di negara-negara lockdown sepenuhnya lebih reseptif terhadap iklan online.
Sumber yang sama juga menunjukkan bahwa konsumen lebih menyukai kampanye-kampanye pemasaran yang mengedukasi daripada semata-mata “menjual.” Topik edukasi tidak perlu berhubungan langsung dengan Covid-19 dan pandemi, namun bagaimana produk dan bisnis yang dimaksud dapat mempermudah hidup mereka.
Iklan penuh makna alias “purpose driven” yang diharapkan oleh konsumen di masa dan pasca pandemi tampaknya semakin “matang.” Sebagaimana digitalisasi, konsumsi media juga semakin didewasakan secara kilat selamat mengalami pandemi ini.
Unilever, sebagai contoh studi kasus, merupakan salah satu pembelanja iklan terbesar di dunia. Mereka menggunakan kerangka berpikir berkaki tiga, yaitu merek yang bertujuan akan bertumbuh, perusahaan bertujuan dapat bertahan lama, dan individu bertujuan akan melesat dan sukses besar.
Jadilah kerangka berpikir ini digabungkan dengan prioritas kebertahanan menghasilkan perubahan konsumsi yang dapat mempengaruhi pola pikir. Dan ini dapat diterapkan secara benchmark.
Transformasi digital masa pandemi akan mengubah era pasca pandemi sebagai periode di mana konsumen semakin mahir dan nyaman dalam beraktivitas digital dan online. Para manajer dan pengambilan keputusan yang berpegang pada prinsip-prinsip tempo doeloe akan semakin progresif dalam bertindak. Dan mereka pasti akan menemukan fakta bahwa digitalisasi jauh lebih efisien secara cost daripada menggunakan tenaga kerja face-to-face.
Akhir kata, Unilever dan beberapa perusahaan raksasa lainnya memastikan bahwa proses transformasi digitalisasi yang edukatif merupakan kebutuhan mutlak yang kelak akan menjadi arus tengah umum dan populer. Secara intelektual dan soft skills lainnya, bisa dipastikan konsumen semakin “naik kelas” hingga timbul evolusi selanjutnya.