
Adakah yang ideal di era pandemi ini
Di era pandemi ini, di mana work from home (WFM) semakin menjadi normal, apa dan siapa yang “ideal” telah bergeser. Pra pandemi, siapa yang pandai memainkan “kartu” mereka di kantor, yang sangat ditentukan oleh kedekatan fisik, biasanya ialah yang mendapatkan keuntungan lebih. Kini dan nanti, kualitas dan kuantitas hasil akhir akan jauh lebih berbicara.
Di masa lalu, mungkin ada eksekutif yang mengandalkan kemampuan mereka dalam meyakinkan atasan alias “bermain politik kantor.” Kini, kerja remote adalah the great equalizer dalam mengunggulkan hasil kerja. Bahkan untuk tugas-tugas yang di masa pra pandemi dipandang “tidak mungkin diselesaikan secara jarak jauh.”
Para eksekutif senior berusia di atas 50 yang agak “gaptek” di masa pra pandemi, terpaksa mesti belajar kilat menjalankan berbagai aktivitas dan menyelesaikan tugas secara remote dengan berbagai perangkat online working. Remote working telah memaksa setiap individu untuk melek teknologi secara instan dan langsung berlari dalam penggunaan. Misalnya, terasa sekali siapa yang dapat dengan lancar berkomunikasi dengan teks dan video conferencing.
Di AS, menurut data dari NordVPN Teams, produktivitas pekerja yang bekerja secara remote meningkat 40 persen atau ekstra 3 jam per hari. Padahal, berbagai aktivitas yang terpaksa harus dihadapi, seperti membimbing anak yang bersekolah secara jarak jauh dan tugas-tugas rumah tangga lainnya terkadang menyita waktu.
Dengan tidak perlu menghadapi jam-jam macet berangkat dan pulang kerja di jalan, 3 jam ekstra setiap hari dapat diisi untuk menyelesaikan tugas-tugas. Produktivitas kerja meningkat, sehingga sebenarnya jumlah pekerja bisa saja dikurangi.
Riset di AS oleh The Conference Board juga menunjukkan bahwa para eksekutif dan pekerja kantor lebih memilih untuk bekerja secara remote WFH pasca pandemi nanti. Bisa dibayangkan betapa dunia kerja akan sangat berbeda di tahun 2021 dan tahun-tahun sesudahnya.
Perusahaan-perusahaan masif di Silicon Valley sendiri merangkul tren remote working dengan semakin nyata. Google Meet dan Amazon Fresh kini semakin masuk ke dalam mainstream yang tidak tergantikan.
Kesempatan besar untuk berperan aktif di era pandemi dan pasca pandemi ini semakin terasa di antara para big players Silicon Valley mengingat pemerintah federal tampaknya tidak begitu berperan dalam pandemic leadership. Contohnya peran public health federal AS hampir tidak terasa oleh publik, apalagi kebijakan-kebijakan yang meringankan masalah di akar rumput.
CEO Microsoft Satya Nadella pernah berkata, “Kami di Microsoft punya peran sebagai perespons digital pertama.” Bisa saja, kekuatan perusahaan-perusahaan teknologi raksasa Silicon Valley sekarang telah melampaui kemampuan problem solving pemerintah.
Idealisme para raksasa teknologi pernah juga dirasakan ketika Apple menolak untuk memberikan password iPhone seorang teroris yang telah mati kepada pemerintah federal AS. Jadi, sekali lagi, pemerintah (negara manapun) semakin tidak berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan teknologi.
Pemerintahan federal sendiri mempunyai kelemahan-kelemahan nyata, seperti ketidakmampuan mendatangkan alat tes dalam jumlah masif dan tidak mampu melakukan contact tracing secara efektif. Dua hal ini terjadi antara lain karena ketidakmampuan untuk menggunakan teknologi secara efisien. Apalagi soal vaksin, jelas hanya big tech companies yang punya kemampuan bekerja super efisien.
Jadi, bisa dirasakan sendiri bagaimana remote working mengubah kebiasaan kerja dan output tugas setiap pekerja, termasuk untuk aktivitas-aktivitas yang sebelumnya “mustahil” dikerjakan secara remote. Selain itu, perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang berkompetensi tinggi dalam beradaptasi dengan inovasi dapat dipastikan akan memiliki kekuasaan lebih besar di masa pasca pandemi nanti.
Apa yang “ideal” di masa pra pandemi, bisa jadi menjadi kurang atau bahkan tidak ideal lagi. Kriteria kondisi kerja ideal, produk ideal, dan produktivitas ideal memang masih belum bisa dipastikan dari sekarang karena kita semua masih meraba-raba dalam berinovasi di era pandemi dan pasca pandemi.
Namun, bisa dipastikan bahwa kesadaran kolektif manusia telah bergeser dengan semakin menyadari “bahaya tidak kasat mata” bernama “virus” yang dapat secara instan memutarbalikkan kondisi dunia. Mari ber-new normal-ria sambil membuka mata dan telinga dalam mencari kriteria “ideal” yang baru.