
Dunning-Kruger Effect (DKE)
Pernahkah Anda menjumpai seseorang yang inkompeten tapi kok percaya diri banget? Mirip dengan “tong kosong nyaring bunyinya” namun tidak semua orang inkompeten nyaring lho. Karena ada juga yang hanya merasa PD saja.
Nah, mereka ini disebut memiliki Dunning-Kruger Effect (DKE), yaitu mempunyai ilusi tentang superioritas mereka. Mungkin mereka tidak punya maksud untuk jadi overkonfiden apalagi sombong. Mereka hanya memiliki keterbatasan dalam menilai kemampuan diri sendiri saja.
Dalam wawancara-wawancara proses rekrutmen, DKE ini cukup “membahayakan” karena tidak hanya si pewawancara saja yang bakal kecewa akan timpangnya kemampuan si diwawancara. Semua stakeholder pada akhirnya akan sangat kecewa akan performance kandidat setelah diterima bekerja.
Pada level pengambilan keputusan, DKE ini malah membahayakan arah strategi bisnis, karena efek ini juga dimiliki oleh mereka yang telah berposisi tinggi namun punya keterbatasan dalam memahami hal-hal tertentu. Ini sebenarnya merupakan fenomena umum karena studi menunjukkan lebih dari 88 persen individu mempunyai kecenderungan untuk overestimasi kemampuan diri sendiri.
Yang mencengangkan, mereka yang mempunyai kemampuan rendah biasanya termasuk yang sangat overestimasi. Dengan kata lain, mereka yang “kurang punya kemampuan merasa diri super.” Bahkan, tidak jarang yang tidak mampu merasa diri sebagai “pakar.”
Siapa yang paling rentan akan delusi ini? Ternyata kita semua tanpa kecuali, karena tidak ada orang yang serba bisa alias bisa segalanya.
Kok bisa? Periset Dunning dan Kruger menemukan fakta bahwa mereka yang punya skill di bawah rata-rata ternyata tidak punya cukup skill untuk mendeteksi kekurangan mereka dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Dengan kata lain, mereka tidak tahu bahwa mereka tidak mampu dan punya banyak hal yang mereka tidak tahu. Sebaliknya, mereka yang punya kemampuan rata-rata dan cukup baik, biasanya tahu betul kekurangan mereka karena mereka punya cukup skill untuk mendeteksinya.
Lantas, bagaimana caranya untuk obyektif akan kemampuan diri sendiri dan orang lain?
Pertama, pastikan untuk mendapatkan feedback akan apa yang dapat Anda perbaiki. Tidak jarang seseorang mengharapkan input dari orang lain namun malah menyebabkan pertikaian jika masukannya kurang enak didengar.
Belajarlah untuk menghargai setiap masukan sebagai sesuatu yang positif. Apabila penyampaiannya negatif, lakukan reframing pikiran agar negatifitas dapat berubah menjadi positif.
Kedua, terus tingkatkan kemampuan di bidang tersebut, karena mereka yang mempunyai skill sedikit di atas rata-rata atau lebih biasanya punya kemampuan observasi diri cukup. Observasi cukup ini penting agar dapat belajar baik untuk mencapai kemampuan lebih mumpuni.
Belajar untuk lebih obyektif akan kemampuan diri dapat dilakukan dengan membandingkan hasil (result), bukan hanya prosesnya. Gunakan indera dengan lebih jeli agar setiap problem dapat ditangkap dengan jelas.
Ketiga, jika Anda sedang berkomunikasi atau mewawancara seseorang yang tampak sangat percaya diri atau kompeten, cari cara untuk menilainya secara obyektif. Bisa jadi dengan melakukan suatu tes obyektif, terutama untuk skill-skill kasat mata.
Kurangi menanyakan pendapat mereka akan diri mereka sendiri, karena DKE bisa menyebabkan seseorang punya titik buta (blind spot) akan sisi-sisi tertentu. Namun pastikan Anda menggunakan kalimat-kalimat, frasa-frasa, dan kata-kata positif dalam setiap komunikasi dan aktivitas.
Rasa percaya diri obyektif dan yang semu (DKE) ini sering kali mirip dirasakan oleh diri kita dan sulit dibedakan di dalam diri orang lain. Padahal, dengan mengenali kemampuan sebenarnya, kita baik dalam pengambilan keputusan.
Selamat belajar mengenali titik-titik buta diri sendiri dan orang lain, sehingga kita dapat menjadi diri yang lebih baik